Senin, 17 Mei 2010

potensi insani Ali ardianto

Potensi insani ali ardianto
BAB I
PENDAHULUAN


Kata Al-Qur'an itu sendiri akar kata Qur'an memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca karena tidak mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis ketika pertama kali Nabi menerima wahyu itu. Al-Qur'an itu sendiri merupakan tuntutan dan pedoman bagi umat Islam. Al-Qur'an memiliki nama-nama lain seperti al-Kitab, al-Furqon, Al-Dzikr.
Adapun persoalan wahyu lebih sulit, khususnya jika orang ingin melampui dan memperbaharui ajaran-ajaran “ortodoks” yang diulang-ulang secara saleh dengan masing-masing tradisi monoestik. Konsepsi Islam tentang wahyu disebut tanzil (turun) sebuah metafora fundamental karena umat manusia yang berpandangan vertikal diundang untuk menuju Tuhan, transedensi.
Disini sebagaimana al-Quran merinci mekanisme wahyu dalam surat Asyura :
وما كان لبشر ان يكلمه الله الا وحيا او من وراء حجاب او يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء انه علي حكيم

Ayat ini menjelaskan wahyu dari segi cara Allah menyampaikannya kepada para Nabi. Cara yang pertama dapat ber macam-macam. Menurut al-Biqa’i kata ( وحيا ) disini dapat mencakup pemberian informasi tanpa perantara dan dengan cara yang tersembunyi. Ia dapat juga berbentuk ilham atau mimpi atau juga dengan cara yang lain, baik Allah menganugerahkan kepada yang menerima wahyu itu kemampuan mendengar disini adalah peringkat tertinggi atau juga disertai dengan pandangan maupun tidak.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi Manusia
Manusia adalah salah satu mahluk Allah yang paling sempurna, baik dari segi aspek jasmaniyah lebih-lebih dari rohaniyahnya. Karena kesempurnaannya itulah, maka untuk dapat memahami, mengenal secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melalui study yang panjang dan hati-hati tentang manusia melalui Al-Quran dan sudah tentu harus dibawah bimbingan dan petunjuk Allah. Serta paradigma kepada proses pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi, Rasul, dan khususnya Nabi Muhammad.

B. Potensi Manusia
Manusia dihadapan Allah Ta'ala bukanlah seperti mahluk makhluknya yang lain akan tetapi seorang makhluk yang memiliki kelebihan luar biasa. Hal ini terbukti dengan jatuhnya pilihannya kepadanya sebagai “khalifah” yakni sebagai penggantinya dalam hal memanage alam dan ekosistem Ilahiyah yang Rahmatan Lil Alamin. Menaburkan potensi keselarasan, kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke seluruh penjuru alam, baik di bumi maupun di langit, di dunia maupun di akhirat.
Adapun potensi yang ada dalam diri manusia adalah :
1. Potensi Nur Ilahiyah
Nur Ilahiyah ini adalah potensi yang paling tinggi dan bersifat luas, gaib dan tidak terbatas, karena ia sangat dengan eksistensi Allah Ta'ala. Esensi dari Nur itu mengandung energi afal (perbuatan-perbuatan Allah), asma (nama-nama Allah) sifat Allah dan Dzat Allah. Apabila nur itu telah hadir dan meresap serta integritas dalam diri manusia, maka atas izin, qudrat dan iradatnya seluruh eksistensi keinsanannya akan menampakkan cahaya-cahayaitu, yang bertpotensi menghidupkan fungsi utamanya yaitu membersihkan, mensucikan, membeningkan, menerangi, menampakkan, menunjukkan, dan mengantarkan kepada kutub kebenaran yang hakiki yaitu wajah Dzat allah Ta’ala.
Apabila nur ilahiyah itu telah utuh dan sempurna hadir atas izinnya, maka fungsi-fungsi esensinya akan tampak pada :
1.1 Keimanan yaitu dengan Nur itu tersingkaplah hijab-hijab yang menutupi keyakinan dan rasa percaya kepada Allah ta’ala dan segala kekuasaannya.
1.2 Keislaman, yaitu dengan Nur itu tersingkaplah hakikat keislaman secara transedental yang dapat mengantarkan manusia kedalam kepasrahan dan lebur didalam keislamannya.
1.3 Keihsanan : yaitu dengan Nur itu tersingkaplah rahasia dan wajah ketuhanan yang bersifat kamil (sempurna), jalal (agung), jamal (cantik) dan Qahhar (perkasa)
1.4 Ketauhidan : yaitu dengan nur itu terbukalah hijab yang menutupi ketauhidan yang hakiki. Dan lengkaplah seorang hamba dalam wahdaniyatnya dan kekal bersama-Nya.
1.5 Kegelapan : yaitu dengan nur itu seluruh kegelapan yang menutupi ruh, jiwa, hati, nurani, akal fikiran, inderawi dan jasmani, semua akan terbuka dan menampakkan esensi dan keberadaannya yang hakiki, bersih, suci dan bercahaya.
Untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas dari potensi nur (cahaya) itu, seorang hamba dapat berusaha dan memohon kepada Allah ta’ala seperti, firmannya :
öNèdâ‘qçR 4Ótëó¡o„ šú÷üt/ öNÍk‰É11‰÷ƒr& öNÍkÈ]»yJ÷ƒr'Î/ur tbqä9qà)tƒ !$uZ­/u‘ öNÏJø?r& $uZs9 $tRu‘qçR öÏÿøî$#ur !$uZs9 ( y7•RÎ) 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏ‰s% ÇÑÈ
Artinya :
cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At-Tahrim, 66:8)

Adapun orang-orang yang tidak mengembangkan potensi nur (cahaya)nya, sebagaimana sejak zaman Azali Allah ta’ala telah menganugrahkan kepada mereka, maka kerugian, kekurangan dan ketidaksempurnaanlah yang akan mereka dapatkan di dalam hidup dan kehidupan ini.
2. Potensi Ruh Ilhiyah
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Isra’ 17:85
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã Çyr”9$# ( È@è% ßyr”9$# ô`ÏB ̍øBr& ’În1u‘ !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Ayat ini turun karena adanya suatu peristiwa dimana orang-orang Yahudi menyuruh orang-orang Quraisy agar menanyakan kepada Rasulullah SAW, tentang “Ashaabul Kahfi", Dzul Qurnain, dan Ruh. Kemudian Allah Ta’ala menerangkan, khususnya cerita tentang Ashaabul Kahfi dan dzul Qurnain. Sedangkan jawaban dari pertanyaan mereka tentang Ruh adalah dengan turunnya ayat diatas. Masalah Ruh adalah masalah yang bersifat gaib dan tidak mudah begi seseorang yang belum cukup memiliki ilmu ketuhanan dan hakekat akan dapat menerima penjelasan Allah yang memang mereka belum mengalami dan meyakini dengan haqqul yakin tentang kebesaran dan kekuasaannya yang Maha Suci lagi Maha Luas.

3. Potensi Nafs Ilahiyah
Dalam perspektif bahasa kata “nafs” memiliki beberapa arti seperti jiwa, darah, badan, tubuh dan orang.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A, menyatakan bahwa kata nafs dalam al-Quran mempunyai beberapa makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia.
Dalam kandungan firman Allah :
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. (qs. Ar-Rad, 13:11)

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa kata “nafs” yang digunakan juga untuk menunjuk kepada diri Tuhan (kalau istilah dapat diterima), seperti firmannya :
|=tGx. 4’n?tã ÏmÅ¡øÿtR spyJôm§9$# 4

Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya menganugerahkan rahmat. (QS. Al-"an'am : 6:12)

Pengertian nafs disini adalah yang berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah Ta’ala, hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba. Dalam literatur Tasawuf, nafs dikenal memiliki delapan kata ganti dari kecendurangan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ke tingkat kedekatan kepada kelembutan ilahi yakni :
1. Nasfu ammarah Bissu', yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan, sebagaimana firmannya :
* !$tBur ä—Ìht/é& ûÓŤøÿtR 4 •bÎ) }§øÿ•Z9$# 8ou‘$•BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu‘ þ’În1u‘ 4 •bÎ) ’În1u‘ Ö‘qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÎÌÈ

Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. (QS. Yusuf, 6:53)

2. Nafsu lawwamah yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan pelanggaran.
3. Nafsu musawwalah yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana yang lebih baik dan mana yang buruk, tetapi ia lebih memilih yang buruk dan belum mampu memilih yang baik. Bahkan mencampur adukkan antara yang baik dan yang buruk.
4. Nafsu Mulhamah yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari allah SWT, di karunia ilmu pengetahuan.
5. Nafsu Muthmaimah : yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik sehingga jiwa menjadi tentram.
6. Nafsu Radhiyah yaitu nafsu yang ridha kepada Allah, yang mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan kesejahteraan.
7. Nafsu Mardhiyah yaitu nafsu yang telah mencapai ridha kepada Allah SWT.
8. Nafsu Kamilah yaitu nafsu yang telah sempurna bnetuk dan dasarnya, sudah dianggap cukup untuk mencapai irsyad yang menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT.

C. Hakikat Manusia sebagai Kholifah Di Bumi
Manusia memang diciptakan oleh Allah untuk menjadi kholifah di bumi. Manusia harus bida menjadi pemimpin bagi orang lain. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa segala sesuatu diatas bumi ini berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia, hanyalah karunia dari Allah SWT. Dan Allah memang menjadikan manusia sebagai kahlifah di bumi dalam firman Allah :
Berdasarkan ini maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri. Tetapi ia hanyalah khalifah atau sang pemilik yang sebenarnya. Di dalam al-Qur’an di sebutkan :

ߊ¼ãr#y‰»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ Zpxÿ‹Î=yz ’Îû ÇÚö‘F{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ä•$•Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3“uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@‹Î6y™ «!$# 4

Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. 38:26)

Berdasarkan ini maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau sang pemilik yang sebenarnya. Didalam Al-Qur'an disebutkan :
øŒÎ)ur tA$s% š•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) ×@Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘F{$# Zpxÿ‹Î=yz
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. AL-Baqarah : 30)

Akan tetapi sebuah negara tidak menjadi sebuah negara yang benar selama tidak mengikuti hukum sang pemilik sebenarnya.
Peran manusia di dunia ini banyak sekali seperti halnya dalam hal teknologi dan sains, pendidikan, perindustrian maupun pemerintahan. Disinilah fungsi manusia sebagai kholifah di bumi.

Rabu, 12 Mei 2010

kehidupan setelah mati

Kehidupan Setelah Mati
(Tinjauan Filsafat Agama)

1.Pendahuluan
Kehidupan dan kematian adalah sesuatu yang selalu menjadi tanda pertanyaan misteri bagi manusia, berapa lamakah kita hidup di dunia ini dan kemanakah kita setelah mati nanti. Apakah ada kehidupan lain setelah keidupan di dunia ini. Dalam beberapa kepercayaan meyakini bahwa kehidupan di dunia ini adalah alam fana. Agama hindu memiliki kepercayaan bahawa dunia ini Sama sekali tidak nyata secara metafisik demikian menurut ajaran filosofis yang dominan. Menurut agama budha, realitas dunia ini Sama sekali tidak nyata, Semua yang ada tidak permanen dan tidak bersubstansi. Sedangkan menurut agama Islam dan Katolik realitas dunia adalah sesuatu yang nyata. Demikan juga kematian dan kehidupan setelah mati adalah sesuatu yang selalu menjadi pertanyaan manusia. Dalam karya tulis singkat ini, penulis memaparkan kehidupan setelah mati dalam tinjauan ilmu filsafat agama. Karya tulis ini akan memaparkan kehidupan setelah mati menurut filsafat barat (Materialisme), filsafat agama Yahudi, Filusuf Agama Konghuchu dan dari pemikiran filusuf Jawa Syekh Siti Jenar.
2.Pandangan Filsafat Agama Mengenai Kehidupan Setelah Mati
a.Filsafat Barat (Materialisme)
Entah dari mana mula kata “surga” dan “neraka”. Tak dapat pula dijejaki mengapa “surga” mesti berantonimkan “neraka”. Kitab-kitab suci, dengan bahasa asli, tak satupun yang menyebutkan nama “surga” atau “neraka” di dalamnya. Yang ada cuma “jannah” dan “an-nar” (dalam AlQuran), Taman Eden (dalam Injil), dan sejumlah nama asing lainnya. Namun, dari semua itu, satu yang paling jelas bisa dipahami adalah: salah satu dari kedua nama tersebut (surga dan neraka), melambangkan imbalan berupa kenikmatan. Entah itu yang kita sebut sebagai “surga” atau “neraka”.
Dalam filsafat Mateialisme-nya Marx, berdasarkan teori-teori di Das Capital, tampak jelas bahwa surga dan neraka hanya buaian belaka. Ini dihembuskan sebagai alat tipu daya kaum lemah untuk selalu tunduk akan kehadiran entitas “mahabesar” yang direkayasa dan dipanggil “tuhan”. Materialisme, menyanggah adanya Tuhan, apalagi surga dan neraka ciptaan-Nya. Materialisme bukan lagi hanya sekadar teorinya Karl. Ia menjelma secara tidak langsung dan telah merasuki hampir sebagian besar jiwa manusia saat ini yang selalu mengagungkan materi. Jelasnya para kaum matrealis menolak adanya kehidupan setelah mati.

b.Filsafat agama Yahudi.
Disini penulis mengadopsi dari pemikiran Saadiah Ben Joseph Gaon (dikenal Saadiah). Saadiah menulis soal kehidupan setelah mati di dalam tradisi dan agama Yahudi. Ia mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga menjadi pertanyaan banyak orang sekarang ini, mengapa orang-orang baik hidup susah dan menderita, sementara orang-orang jahat hidup berkelimpahan? Bagi Saadiah orang-orang baik mendapatkan pencobaan dari Tuhan. Mereka mengalami proses pemurnian yang berlangsung di dunia. Orang baik mengalami lebih banyak penderitaan di muka bumi ini. Namun Tuhan itu adil, maka setelah mereka meninggal, mereka akan mendapatkan imbalan dari Tuhan dalam bentuk kehidupan abadi yang bahagia. Inilah surga menurut Saadiah. Di dalam surga tubuh dan jiwa akan bersatu kembali. “Bagi Saadiah”, demikian tulis Chon-Sherbok, “karena Tuhan menciptakan dunia dari kekosongan, maka tidak ada kesulitan logis untuk percaya bahwa Tuhan dapat menciptakan tubuh dari orang-orang yang telah meninggal.”
Menurut Saadiah ada dua bentuk berakhirnya peradaban manusia. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai periode messianik. Di dalam periode ini, kerajaan Israel akan mencapai puncak kejayaannya. Pada masa ini semua bentuk penindasan, kemiskinan, dan konflik sosial akan menghilang. Surga akan tercipta di dunia. Orang-orang baik akan mendapatkan imbalan yang sesuai. Orang-orang jahat akan mengalami penderitaan di dalam api. Di dalam tulisan-tulisannya, Saadiah adalah pemikir pertama yang secara sistematis memberikan pendasaran rasional bagi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam agama maupun tradisi Yahudi, baik tentang manusia, hukum, ataupun kehidupan setelah mati. Akal budi digunakan untuk memahami dan menegaskan ajaran-ajaran di dalam tradisi dan agama Yahudi.

c.Filsafat Agama Konghuchu
Dalam ajaran agama Khonghucu ada penjelasan tentang kehidupan abadi yang sangat menonjol, tetapi kurang diperhatikan dan kurang dibicarakan. Kebanyakan orang hanya menganggap agama Khonghucu hanya mengajarkan keharmonisan dalam masyarakat saja. Orang yang baru mempelajari agama Khonghucu biasanya mencari jawaban atas keselamatan dan keabadian roh, apabila mereka tidak menemukannnya mereka mundur. Para rohaniwan agama Khonghucu sendiri juga kurang memperhatikan masalah ini, dianggapnya tidak penting dengan alasan bahwa agama Khonghucu agama untuk orang hidup bukan untuk orang mati.
Agama Khonghucu mengajarkan bahwa manusia lahir ke dunia karena kehendak Tuhan. Agama Khonghucu mengajarkan bahwa alam semesta ini mempunyai keteraturan yang dikendalikan oleh hukum tertentu. Di bumi, tempat hidup manusia dan makhluk hidup lain juga ada keteraturan yang dikendalikan oleh hukum tertentu. Manusia dalam menjalani kehidupannya juga membuat hukum yang wajib ditaati oleh sesama manusia.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai roh yang menyatu dengan badannya. Roh mempunyai komponen dalam raga manusia hidup. Komponen roh itu mengatur bekerjanya organ tubuh agar manusia tetap hidup. Dalam ilmu pengobatan Tionghoa diakui adanya Jing Lu, atau meridian yang melilit seluruh organ tubuh manusia. Jing Lu itu diumapamakan sebagai saluran yang berisi Qi atau enegi vital yang mengatur semua organ tubuh. Jing Lu ini tidak tampak meskipun dilihat dengan mikroskop yang dapat memperbesar jutaan kali. Jing Lu bukan materi, tetapi bagian dari roh. Pada Jing Lu itu terdapat banyak “ lubang” atau “ danau” yang dapat dijangkau dari permukaan kulit. Apabila tubuh orang sakit “lubang” tertentu  dapat ditusuk dengan jarum atau benda lain agar organ yang sakit berfungsi kembali. Jing Lu itu bagian dari roh, dan dapat dilihat dari hubungan antara perasaan dan kesehatan. Orang yang menyimpan rasa takut dalam waktu lama akan menyebabkan salah satu organ penting tidak berfungsi alias sakit. Perasaan atau emosi adalah bagian dari roh, apabila roh tidak sehat menyebabkan komponen roh dalam tubuh itu tidak bekerja dengan baik. Komponen pokok atau pusat-pusat dari Jing Lu itu disebut “Bunga Emas” dalam bahasa Hindu disebut Cakra. Dalam ilmu pengobatan Tionghoa ada namanya sendiri dengan jaringannya yang rumit.
Menurut mereka, kelahiran adalah hasil proses, perkawinan adalah hasil proses, kematian juga hasil proses. Namun harus diingat bahwa proses itu tidak dapat ditelusuri kembali, proses bukan sebab akibat, semua hasil proses terjadi karena bekerjanya berbagai faktor, dan tidak dapat ditentukan faktor mana yang paling dominan. Dalam istilah agama, hasil proses itu disebut nasib. Demikian juga setelah orang meninggalkan dunia ini masih menjalani proses yang panjang, andaikata ke neraka atau ke surga atau ke nirwana tidak bisa menjadi tujuan akhir  karena proses itu tidak punya tujuan akhir, tidak finalistis. Reinkarnasi masih menjadi kemungkinan bagi arwah orang yang telah meninggal karena reinkarnasi masih merupakan lanjutan dari proses. Namun Nabi Khongcu juga tidak pernah membahas masalah reinkarnasi karena reinkarnasi adalah proses di kemudian hari yang belum akan dijalani sekarang. Apakah kehidupan sekarang ini adalah hasil dari reinkarnasi dari kelahiran masa lalu? Orang tidak dapat memberikan jawaban yang pasti karena orang tidak dapat mengingat pengalaman kehidupan masa lalu. Apabila diibaratkan komputer yang lahir kembali berreinkarnasi adalah programnya saja, sedangkan datanya hilang. Andaikata orang dapat mengingat kembali pengalaman kelahiran yang lalu tidak menguntungkan bagi kehidupannya sekarang karena zaman sudah berubah banyak, pengetahuan yang dia miliki pada kehidupan yang lalu sekarang sudah ketinggalan model, bahkan mengganggu proses kehidupan yang sedang dijalani sekarang.

d.Filsafat Kematian Syekh Siti Jenar
Menelusuri gagasan Syekh Siti Jenar, filsuf lokal Nagari Jawi, terasa ada
yang lain, karena gagasannya itu sering kali unik dan terbalik dibandingkan
dengan pandangan pada umumnya. Banyak orang menyebutnya jenius dan
gagasannya melampaui zamannya, tetapi ia juga menuai kritik keras bahkan
dianggap murtad. Terlepas dari sikap pro dan kontra, tidak ada salahnya
menyimak gagasannya tentang kehidupan di dunia ini. Menurut Syekh Siti
Jenar, dunia ini justru bukan alam kehidupan manusia yang sebenarnya. Alam
yang sebenarnya adalah setelah kematian. Siti Jenar berpendapat bahwa hidup
di dunia ini justru kematian, dan baru setelah manusia meninggalkan
jasadnya, maka ia akan memperoleh kehidupan sejati.
Coba kita renungkan ajarannya tentang hidup dan kehidupan secara mistis.
Dia berpendapat bahwa hidup yang selalu sedih, sengsara, kebingungan dan
sejenisnya adalah penjara. Ini bukan hidup di alam kehidupan, melainkan
hidup di alam "kematian". Manusia yang demikian terpuruk dalam kematian
hidup. Manusia yang terdegrasi nilai, curang, culas, korup, dan  sebagainya
adalah manusia yang telah mati menurut Syekh Siti Jenar. Dengan demikian maka di dunia ini telah dihuni manusia "Zombie" (mayat-mayat yang kotor), dengan struktur kehidupan yang mati. Tak sedikit mayat-mayat itu mengejar rezeki yang
haram. Tak sedikit pula mayat tersebut berebut kedudukan.
Dalam konteks kematian, Syekh Siti Jenar mengajarkan tata cara menjemput maut kepada para wali. Kenapa para wali ini diajarkan "Meskipun kamu tahu dan dapat melakukan, tentu kamu akan salah melaksanakan, sebab kamu masih tenggelam dalam kesesatan. Melihat harta duniawi, kamu masih terpikat", demikian ujarnya. Rasanya kritik Jenar terhadap wali, perlu disikapi dengan arif. Mengapa? sebab jika mayat-mayat busuk bergentayangan ke sana-kemari mencari sesuap nasi, sangatlah  tidak pantas jika kita sombong dan arogan. Pelajaran yang
kita terima adalah bahwa kita harus menjauhi semua sifat negatif duniawi.
Sudahkah kita koreksi diri kita?

3.Penutup
Hidup dan mati itu adalah bagaikan koin, dengan dua sisi yang berbeda,walaupun hakikatnya satu. Satu sisi orang menyebutnya hidup di sisi yang lain orang menyebutnya mati. Orang disebut hidup apa bila masih bernafas,dan disebut mati apabila sudah tidak bernafas. Jalan hidup dan kehidupan mahluk Tuhan, akan diawali dari yang ada menjadi tiada (ada juga yang menyebut dari yang tiada menjadi ada, tapi ini tidak dibahas karena dari dulu gak ada habisnya). Setelah kita terlahir, tumbuh, hidup dan berkembang kemudian kita mati. Banyak manusia hidup dan takut mati, seolah kematian adalah akhir segalanya. Akhir kehidupan ini. Apakah benar demikian? Belum ada kabar yang menjelaskan tentang kehidupan setelah kematian, kalaupun ada di sinetron tentang orang yang sudah mati kemudian hidup, mereka menjelaskan tentang peristiwa ghaib, tapi sulit dicerna oleh akal kita nyatakan itu mistis.
Agama Islam meyakini perjalanan hidup di dunia hanyalah sebentar, masih ada alam ke abadian. Tapi akankah kita mencapai alam abadi nan kekal? Dunia ini fana yang akan luluh lantak pada akhir zaman, para rasul menyebutnya kiamat. Pertanyaan terus bergulir, akankah kita mencapai keabadian yang dinanti? Adakah jaminan surga itu abadi? yang abadi itu hanya Tuhan, maka ke Tuhan jua kita kembali. Ina Lillahi Wa Ina Ilaihi Rajiun.













DAFTAR PUSTAKA

Abdala, Absar Ulil. Terorisme dan Soal Ketidakadilan. HumaniusH/Edisi II/November/2009
Hilal, Muhammad. Agama dan Budaya. HumaniusH/Edisi II/November/2009.
http//Filsafat Yahudi Saadiah ben Joseph Gaon « Rumah Filsafat (The House of Philosophy).htm
http://filsafatkita.f2g.net/
http// gentanusantara Filsafat dan Agama Khonghucu bagi Masyarakat Indonesia » Esok Masih Ada Matahari ( Rahasia Kehidupan dan Kematian ).htm
http://groups.yahoo.com/group/filsafat/
http//kehidupan setelah mati siti jenar.htm
http//reinkarnasi atau kehidupan setelah mati_ Forum Sains.htm
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan. Jakarta: Serambi, 2000.











Kehidupan Setelah Mati
(Tinjauan Filsafat Agama)

Tugas ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata kuliah Filsafat Agama
Dosen Pengampu: Drs. Darojat Ariyanto, M.Ag.












Disusun Oleh:

1. Ali Ardianto H. 000 080 006
2. M. Zainal Arifin H. 000 080 007
3. Mahmud Rifai H. 000 080 005







JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

teologi syiah

PENGERTIAN, SEJARAH, PERKEMBANGAN TOKOH, AJARAN, DAN SEKTE SYI’AH
 
I.      Pendahuluan
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.
 
II.      Pembahasan
1.      Pengertian Syi’ah
a.      Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).
b.      Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih hidup.
c.       Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.
d.      Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.
e.       Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.
f.        Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saww (shallallâhu ‘alayhi wa âlihi wa sallam—pen.) yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.
 
2.      Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali). Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.
 
3.Perkembangan Syiah
1.Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam perkembangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah. Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
a.Nashr bin Muhazim
b.Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c.Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d.Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e.Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f.Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g.Ali bin Babawaeh al-Qomi
h.Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i.Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j.Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k.Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l.Ibn Qawlawaeh al-Qomi
m.Ayatullah Ruhullah Khomeini
n.Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o.Sayyid Husseyn Fadhlullah
p.Murtadha Muthahhari
q.‘Ali Syari’ati
r.Jalaluddin Rakhmat
s.Hasan Abu Ammar
b. Ajaran-ajaran Syi’ah
1.Ahlulbait
Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer
2.Al-Badâ’
Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.

3.Asyura.
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.
2.Imamah (kepemimpinan)
Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.
3.      ‘Ishmah
Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
4.     Mahdawiyah
Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
5.     Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh
Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha
6.    Raj’ah
Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
7. Taqiyah
Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.
8. Tawassul
Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
9.    Tawallî dan tabarrî
Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
 
c.     Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah. Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah. Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
a.Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
b.Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
c.Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.
 
III.Penutup
1. Kritik dan Komentar
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas. Semoga pembaca mampu menarik kesimpulan ajaran syiah secara objektif sehingga tidak ada suatu subjektifitas dalam pemahaman kepercayaan suatu aliran.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb
 
 
Daftar Pustaka

Abdullah, Raji Sufyan. Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya. Jakarta: Pustaka Riyad, 2006)
Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3.  
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.
Hanan, Abu. Dirasatul Firaq. Solo: Pustaka Arafah, 2003
Hasan Abdul, Ali An-Nadawi. Tokoh-Tokoh: Pemikir dan Dakwah Islam. Solo: Pustaka Mantiq, 1995
Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka, 1995, cet. ke-2.
Syirazi, Nashir Makarim. Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H, cet. ke-2.
http://www.al-shia.com
http://www.ijabi.org